Review Buku. I Can Not Hear (Perjalanan Seorang Anak Tuna Rungu Menuju Dunia Mendengar)


Judul: I Can (Not) Hear. Perjalanan Seorang Anak Tuna Rungu Menuju Dunia Mendengar
Penulis:  Feby Indirani & San C. Wirakusuma
Penerbit: Gagas Media
Edisi: Cetakan 1 – Jakarta, 2009
Halaman: 354
ISBN: 979-780-363-5

Apa jadinya kalau bayi mungil yang kita tunggu kehadirannya, kita cintai sejak dalam kandungan, selalu rutin memeriksakan kehamilan ke dokter yang baik, ternyata terlahir tuna rungu? Jadi, bagian mana yang salah?
The moment a child is born, the mother is also born.
(Bhagwan Shree Rajneesh)

Saat itu musim semi,  18  Mei di Rumah sakit Matilda Hongkong. Sansan melahirkan bayi cantik dengan pipi merona merah, Gwen namanya. Nama Gwendolyne diambil dari salah satu tokoh di buku favoritnya, Malory Towers karangan Enid Blyton.  Gwen bayi yang sangat tenang, pernah suatu malam terjadi angin topan hingga level 8, level tertinggi tapi dia tetap tertidur nyenyak.  Merasa ada yang aneh, Sansan membawa Gwen ke dokter dan hasilnya sangat mengejutkan. Dari hasil tes DPOAE (Distortion Product Otoacoustic Emissions) dan Tympanometry, Gwen mengalami gangguan pendengaran yang cukup berat, adanya infeksi telinga dan mixed hearing loss. Artinya, selain memiliki gangguan telinga tengah. dia pun mengalami gangguan pada telinga bagian dalam. Padahal dari hasil tes selama kehamilan, saat kehamilan 4 bulan Sansan bersih dari virus rubela dan campak jerman. 

Masa-masa sulit pun dilalui Sansan dan keluarga. Gwen mulai menjalani tes demi tes, terapi demi terapi. Seperti tes ABR (Auditory Brainstem Response) untuk melihat grafik respon otak saat diberi bunyi. Hasilnya Gwen tidak menunjukkan respon terhadap suara sampai kerasnya 100 desibel. Jadi, kalaupun Gwen berdiri di samping pesawat terbang yang akan lepas landas, dia belum mendengar suara tersebut karena dia tidak mempunyai sisa pendengaran bahkan sampai 100 desibel.

Tes di Klinik Dr, Goh di Queen Mary Hospital menunjukkan bahwa gangguan pendengaran Gwen disebabkan virus CMV. Hasil tes darah juga menunjukkan bahwa  Sansan pernah terjangkit virus CMV sehingga ia memiliki antibodi terhadap virus tersebut. Hasil tes darah Gwen negatif tapi hasil tes urin terhadap rasio virus CMV masih tinggi. Dr. Goh menganjurkan Gwen mengikuti physiotherapy dan occupational terapi. 

Tahun 2000 usia Gwen sekitar 17 bulan, iapun menjalani operasi. Rambutnya digunduli. Kepalanya dibuka, lalu tengkoraknya dibor untuk membuat lubang. Di dalamnya, dimasukkan internal implant yang terdiri dari elektroda dan housing yang berisi magnet dan chip komputer. Housing terhubung dengan elektroda yang dimasukkan jauh melingkari rumah siput yang tujuannya untuk menstimulasi syaraf-syaraf pendengaran dan mengantarkan suara ke otak tempat suara diterima melalui alat luar (external device).

Gwen bisa mendengar? Belum, dia masih harus belajar mendengar dan enam bulan hingga setahun pertama setelah pemasangan cochlear implant adalah masa pengulangan saat Gwen harus banyak mendengar. Setiap hari, setiap waktu mommy Sansan mengajarkan kata baru, dan terus mengulanginya. Semakin jauh sumber suara, semakin sulit Gwen menangkap dengan utuh apa yang ia dengar.
Empat bulan sesudah implan, Gwen berlari menuju Sansan dan menunjuk telinganya.
“ai ear e...”
Kalau anak-anak lain, kata pertamanya adalah ‘papa’ atau ‘mama’. Kata pertama yang Gwen ucapkan secara spontan adalah ‘I hear that”. (halaman 168).

Demi Gwen, Sansan dan Gwen pindah ke Australia karena lingkungannya berbahasa Inggris dan program terapi mendengarnya sudah mapan, sementara papa John mengurus bisnis di Jakarta. Di Australia, Sansan juga kuliah di Macquarie University Special Education Center, sekolah khusus untuk anak-anak yang mengalami gangguan di bidang disleksia (gangguan kesulitan membaca) karena masalah kesulitan belajar, Attention Deficit Disorder (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) ataupun autisme.

Di Sydney, Gwen juga di implan ulang, setelah itu kemajuannya pesat. Selama ini pengucapannya kurang bagus karena pendengaran yang kurang bagus dari alat implant yang lama. Tak lama setelah itu Gwen bersekolah di Pre School dan mommy setelah lulus program  S2  Special Education melanjutkan belajar di program Primary Education. Sansan juga mengikuti program mentoring bersama Cheryl Dickson untuk mendalami pengetahuan di bidang gangguan pendengaran. Tahun 2006, mommy Sansan bersama beberapa orangtua sepakat mendirikan Yayasan Indonesia Mendengar sebagai wadah informasi untuk para orang tua yang mempunyai anak gangguan pendengaran yang memakai alat bantu dengar konvensional ataupun cochlear implant.



Membaca buku ini seperti merasakan langsung apa yang dialami mommy Sansan, saat malaikat kecil yang ditunggu hadir kedunia dengan tubuh mungilnya yang mempesona siapa saja. Beribu doa dipanjatkan, beribu rencana jangka panjang telah dirancang, tapi jika rencana manusia tidak sama dengan rencana Tuhan, tidak ada yang bisa dilakukan selain terus berjuang, karena perjalanan hidup tidak pernah kita duga. Proses terapi Gwen sejak bayi hingga bisa mendengar dengan cochlear implant juga diceritakan secara runtut dan detail, menyertakan waktu dan lokasinya.  Begitupun interaksi Sansan dengan suami, ibu dan tentu saja Gwen yang sangat menguras emosi. Dari buku ini pembaca juga bisa tahu bagaimana menghadapi anak tuna rungu, cara berkomunikasi, cara mengajari banyak hal, juga bersosialisasi dengan dunia luar. Jika para orang tua yang dikaruniai anak sehat  saja seringkali mengalami kesulitan dalam merawat, mengurus dan mendidik anak, bagaimana dengan para orang tua dan keluarga dengan anak yang memiliki kekurangan? Tentu butuh perjuangan, dan kesabaran yang tak terbatas. 

Buku ini berlatar belakang Hongkong, Singapura, Jakarta dan Sidney, yang mungkin membantu pembaca menemukan referensi pengobatan untuk anak dengan gangguan pendengaran. Buku ini juga dilengkapi dengan kata-kata mutiara yang inspiring  di setiap chapternya, foto-foto Gwen dan keluarga dari bayi hingga usia sekolah, dan pembatas buku. Beberapa gambar Gwen yang ala manga juga menghiasi buku ini. Selain itu membeli buku ini sekaligus telah menyumbang Rp.1.000 untuk Yayasan Indonesia Mendengar.

Selamat Membaca


Komentar

  1. Subhanallah ....salut buat sang mama yang tak surut semangat untuk mengupayakan yang terbaik bagi sang buah hati

    BalasHapus
  2. nyess rasanya kalau baca buku semacam ini. salut buat mamanya yang berjuang terus untuk anaknya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer