Pendidikan Dasar di Jepang: Budi Pekerti Dahulu, Kemampuan Akademik Belakangan

Assalamualaikum ww


Okamoto Kaoru menyebutkan pendidikan pembentukan karakter penuh itu sebagai pendidikan kokoro. Kokoro secara harfiah berarti hati, pikiran, spirit, mentalitas dan kemanusiaan. Menurut Okamoto, tujuan paling penting pada pendidikan dasar adalah untuk memperkaya kokoro anak-anak.

Upaya itu dilakukan antara lain dengan membagi anak dalam kelompok 5-6 orang. Setiap kelompok diberi tanggung jawab khusus. Misal bertanggung jawab menjaga kebersihan kelas, menyajikan makan siang, memelihara hewan peliharaan kelas, membuat koran kelas. Tanggung jawab itu dirotasi setiap minggu/bulan. Anggota kelompok pun diganti secara berkala. Kelompok itu juga belajar bersama. Anak yang pintar membantu anak yang kurang. Dengan begitu, anak belajar kerjasama dan saling bantu sehingga guru tak perlu menghabiskan energi untuk menertibkan dan mendisiplinkan anak di kelas. 

 Sumber: http://www.japanschoolnews.com

Tidak seperti Indonesia yang mengenal mata pelajaran agama dan budi pekerti, Sekolah Dasar (SD) di Jepang tidak memiliki mapel tentang pelajaran moral apalagi emngukur kompetensi siswa melalui penilaian.
Pendidikan moral disampaikan  dalam bentuk hidden curriculum.  Bimbingan soal perilaku sosial yang baik diberikan wali kelas. Bisa berupa diskusi terkait kasus sehari-hari yang ada di sekitar siswa atau berwacana - tentu dengan cara sesuai usia anak SD- tentang situasi kemasyarakatan. Penugasan juga diberikan kepada siswa misalnya mewawancarai anggota keluarga atau sosok tertentu di lingkungan mereka.

Meski tidak sebagai mapel khusus, tapi pendidikan moral dan kebiasaan hidup tertib sangat menonjol. Anak-anak belajar tata cara dan berperilaku dengan sesama, orang yang lebih tua, yang lebih muda, yang tidak dikenal, dan juga belajar tentang aturan di sekolah, keluarga, tempat umum, serta "tata krama" lainnya.

BELAJAR BERHITUNG

Menurut Murni Ramli, dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universsitas Sebelas Maret sekaligus doctor lulusan Graduate School of Education and Human Development, Nagoya Univesity, selain pendidikan moral, pelajaran yang mendapat porsi besar adalah Bahasa Jepang dan matematika (berhitung).
Di tingkat dasar anak-anak berlatih menguasai empat ketrampilan dasar: berbicara, membaca, menulis dan berhitung. Ini menjadi dasar atau tool untuk mapel lain. Jadi porsinya harus lebih besar. Pekerjaan rumah dan tugas-tugas mapel ini hampir setiap hari ada.

Sumber: https://rizaldp.wordpress.com

Pembelajaran Bahasa Jepang sangat penting sehingga kelas rendah (1 sampai 3) memiliki jumlah jam belajar lebih banyak dibanding kelas atas (4 sampai 6). Jepang memiliki aturan gramatikal, cara baca dan cara menulis dalam huruf hiragana, katakana dan kanji. Belajar huruf Jepang ini jika tidak dari kanak-kanak akan sulit. Pembelajaran Bahasa Inggris diajarkan di kelas 5 dan 6. Ini diharapkan agar anak-anak menguasai bahasa ibunya sejak usia dini.

Pelajaran IPA diajarkan mulai kelas 3. Mereka tidak memiliki pelajaran IPS. Namun ada satu mapel yang disebut seikatsuka (life skills) yang mengajarkan kemandirian. Contohnya, bersosialisasi di tempat bermain atau adab kesopanan saat naik kendaraan umum. Ini hanya diajarkan di kelas 1 dan 2 sedangkan kelas 3 ke atas mereka belajar tentang masalah kemasyarakatan melalui integrated course (IC). Kegiatan IC dapat berupa kesempatan belajar bersama tukang roti di sekitar sekolah atau rumah siswa, bersama petani atau belajar di alam sekitar, sungai, gunung dan sumber air.

Sementara itu pendidikan yang terkait dengan jiwa, karsa dan raga berupa seni dikembangkan dalam aspek seni dasar yaitu musik dan seni (art). Setiap sekolah dilengkapi ruang musik dan ruang seni. Biasanya ada ruang khusus untuk belajar memasak atau belajar ketrampilan dasar yang lain. Pelajaran olahraga mendapatkan porsi besar karena prinsip pendidikan di Jepang adalah perkembangan fisik yang optimal.

Sumber: http://m.lakeybanget.com

Dengan sistem pendidikan demikian, 30 tahun sejak Restorasi Meiji di pertengahan abad 19 pendidikan Jepang masuk dalam liga negara-negara maju. Hebert Passin dalam Society and Education in Japan menulis partisipasi sekolah dasar (SD) di negeri itu tercatat 100% sejak Restorasi Meiji. Target wajib belajar SD dan SMP dengan mudah tercapai. "Jepang di 1855 siap bertransformasi menjadi negara modern. Mereka saat itu terbelakang secara ekonomi tapi tidak secara budaya," tulisnya.

Di masa modernisasi setelah isolasi itu negeri Matahari Terbit sudah kaya tradisi literatur sekuler. Buktinya d periode Genroku (1688-1704) ada penerbitan buku dengan tiras 1.000 kopi untuk memuaskan keinginan para pembaca. Selain gemar membaca, masyarakat Jepang juga gemar belajar. Banyak orang percaya dengan manfaat pembelajaran seumur hidup dan menikmatinya.

MENGADOPSI PENDIDIKAN DI JEPANG

Menurut Murni Ramli, Deputi UPT Layanan Internasional UNS, Indonesia bisa mengadopsi sebagian dari sistem pendidikan di Jepang, meski ada beberapa yan sudah dijalankan seperti sistem rayon.

Sumber: https://murniramli.wordpress.com

Pertama. Menstandarkan fasilitas sekolah.
Semua SD di Jepang wajib memiliki sarana olahraga luar ruang, indoor stadium, kolam renang, ruang musik, ruang memasak, ruang melukis, ruang komputer, perpustakaan dengan standar sama. Baik sekolah di kota besar maupun di sekolah pelosok memiliki fasilitas yang sama.

Kedua. Pendidikan kemandirian dan kedisiplinan diterapkan melalui kegiatan harian bukan teori.
Misalnya, berangkat sekolah secara berkelompok (tidak diantar orang tua), bersih-bersih kelas dan sekolah (tidak ada cleaning service), kegiatan makan siang dilayani oleh siswa-siswa yang bertugas secara bergiliran dilanjutkan sikat gigi bersama. SD Jepang mengharuskan anak-anak bertanggung jawab atas kebersihan tanpa mengandalkan petugas kebersihan. Memungut sampah yang terlihat serta merapikan apa saja yang berantakan.

Ketiga. Menyederhanakan materi pelajaran dengan mengutamakan pengetahuan dibutuhkan anak sehari-hari sesuai usianya.

Keempat. Menerapkan wajib belajar yang sebenarnya.
Yaitu tidak ada tinggal kelas dan tidak ada wajib ujian yang menentukan kelulusan. Anak-anak yang suka berkompetisi dan jiwa kompetisi di Jepang dididik dalam konteks tim. Ini berlaku juga di jenjang pendidikan menengah dan tinggi, di perusahaan dan di kantor. Semua bekerja berbasis tim. Keunggulan adalah keunggulan tim, bukan perseorangan.

Kelima. Kegiatan makan siang di sekolah dengan menu yang memenuhi persyaratan gizi.
Ini akan menjamin yang dimakan adalah makanan sehat. Tidak ada kantin atau penjual jajanan di sekitar sekolah.

Keenam. Mengedepankan perkembangan fisik/motorik, perilaku, dan kognitif, secara optimal pada anak-anak. Di Indonesia masih terbalik, yaitu kognitif, perilaku dan keterampilan. Atau lebih mengutamakan pengetahuan sementara di Jepang, SD lebih mengutamakan perkembangan fisik dan perilaku selanjutnya kognitif mengikuti.


Semoga bermanfaat.

Referensi: Halo Jepang edisi Juli 2017

Komentar

  1. Wah keren juga ya, tp kl d Indonesia -kita tercinta ini- ngajarin bahasa inggrisnya yg justru sejak (bahkan) masih calon bayi, dan bangga anaknya jago bhs ingris tp krg paham bhs Indonesia, atau bisa jd gatau apa2 sm bhs daerahnya. Gatau deh mesti gimana hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer