Hujan Turun Dua Hari

Tak terasa hampir setahun kami tinggal di sini. Di kota di lereng pegunungan Dieng. Kota yang subur, pemandangannya indah, banyak jalan yang berkelok-kelok serta naik turun dengan tebing atau jurang di kanan kirinya. Pantas saja, transportasi umum bukan cuma bus serta angkot, tapi juga delman, ojek, truk kecil/colt, bahkan truk agar bisa menjangkau daerah/ desa-desa di pinggir kota. Tinggal di dekat gunung membuat kami terbiasa dengan udara dingin, jaket dan selimut, secangkir jahe hangat dan hujan yang turun sewaktu-waktu. Kapan saja, Tuhan bebas mengatur waktu kapanpun akan menumpahkan hujan, dimanapun DIA kehendaki. Seperti saat itu. Biasanya hujan turun selepas Dhuhur. Tapi Sejak Ashar gerimis mulai turun. Lalu terus turun hingga 2 hari berikutnya. Deras diselingi gemuruh guntur dan kilat sesekali. Hujan menumpahkan perasaannya dari langit dengan stabil tidak di selingi dengan terang barang sekejap. 

Alhamdulillah dua krucils dalam keadaan sehat. Hari pertama kami tidak keluar rumah. Kebetulan suami tidak ngantor, karena mengerjakan lemburan di rumah. Ah, hujan-hujan begini memang tenang dan nyaman berkumpul bersama keluarga di rumah. Membayangkan bagaimana dalam perjalanan, atau ada keluarga yang sedang tak ada di rumah rasanya pasti gelisah dan tak tenang. Anak-anak bermain riang di rumah. Tukang sayur datang sambil bermantel hujan, membawa sayur seadanya. Hari itu kami makan sayur daun lembayung dan talas rebus. Hari kedua hujan masih turun. Sama seperti hari sebelumnya. Hujan ak beraderas dengan sesekali guntur terdengar. Kali ini tukang sayur keliling tak berani datang. Untung ada pohon pepaya depan rumah sudah berbuah, Pepaya muda bisa di sulap menjadi sayur bening atau oseng pepaya. Alhamdulillah, anak-anak sholih ini mau makan seadanya. Sebenarnya suami mau ke Purbalingga, tapi karena hujan beliau membatalkannya. Hingga dari grup WA kami kaget, ternyata hujan turun dua hari membawa efek yang berhari-hari, berbulan-bulan, mungkin juga dalam hitungan tahun.
Seorang teman di FB memposting beberapa kejadian memilukan yang terjadi di Wonosobo dan Banjarnegara. Longson di Karangkobar Banjarnegara menjadi duka nasional. Hujan turun dua hari, kami bisa nyaman di rumah. Ternyata tidak demikian yang terjadi di luar sana.

Sapen, dulunya adalah terminal lama. Berada di Wonosobo arah ke Banjarnegara. Dari Wonosobo daerah longsor ini berada di kiri jalan. Saat kami dalam perjalanan ke Purbalingga pada hari sabtu (13/12), tanah yang longsor ini sudah ditutup police line, ada dua alat berat  yang sedang mengeruk tanah. Menurut Wonosobokab Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Kabupaten Wonosobo berhasil menemukan aliran sungai yang ada di bawah bangunan ambles di tepi jalan T Jogonegoro. Setelah mengerahkan dua alat berat yang bekerja selama 24 jam, Jum’at pagi (12/12), sisa-sisa reruntuhan bangunan warung soto ternama yang ambruk sehari sebelumnya juga berhasil dievakuasi. Dengan telah bersihnya sisa-sisa reruntuhan bangunan tersebut, upaya pencarian alur sungai yang membentang di sepanjang tepi jalan raya Banyumas-Wonosobo itu pun menjadi semakin mudah. Memang tidak mengganggu lalu lintas, namun bisa memberi pelajaran agar tidak membangun bangunan di atas aliran sungai. 

gambar dari sini

Pada hari sabtu, kami sekeluarga bersilaturahmi ke Purbalingga, setelah melewati dan melihat sekilas proses evakuasi di sapen, mobil yang kami naiki memasuki Banjarnegara. Saat melewati Sigaluh, tebing yang berada disisi kiri jalan tampak habis longsor, ada 2 orang lelaki yang tengah membersihkan jalan raya dari tanah dan bebatuan yang longsor. Menurut berita daerah ini (desa Tunggoro kec. Sigaluh) sempat longsor hingga membuat jalan utama Semarang-Purwokerto ini terputus, tapi alhamdulillah kami bisa lewat.Suami memacu kendaraan lebih cepat. Bayangan longsor sedikit membuat kami khawatir. Tak lama kemudian hujan turun dengan deras. Kami berpapasan dengan truk-truk tentara dari arah berlawanan (arah selatan). Kabar longsor di dusun Jemblung terdengar dimana-mana. Para tentara ini tentu akan membantu menjadi relawan disana. Kami juga berpapasan dengan truk-truk besar yang mengangkut alat berat baik buldozer maupun ekskavator. Kami kembali ke Wonosobo pada hari Senin (15/12), dalam perjalanan pulang saat kembali melewati Sigaluh, hujan turun deras, dan kami melihat butiran-butiran tanah dan bebatuan meluncur dari atas tebing layaknya seorang anak yang meluncur cepat dari perosotan. Suami memacu mobilnya cepat. Kami masih berpapasan dengan truk-truk tentara dari arah berlawanan (dari arah utara) juga truk pengangkut alat berat. Kami juga berpapasan dengan beberapa mobil yang membawa perahu karet. Dan kendaraan dengan plat nomor luar daerah yang mungkin membawa bantuan untuk bencana longsor di dusun Jemblung.

Sementara itu, menurut berita dari sini, di Jalan Dieng KM 21 yang berada di Desa Tieng Kecamatan Kejajar, akses jalan menuju obyek wisata Dieng longsor sepanjang 20 meter. Sehingga  arus kendaraan menuju Dieng coba dibatasi. Entah bagaimana kondisi terbaru di Tieng. Tapi yang jelas, karena rumah yang kami tinggali berada disisi sungai, setelah hujan berhenti ada tetangga yang melongok sungai. Mengingat perumahan ini diapit sungai, tebing tinggi dan juga jurang. Tebing di depan perumahan juga longsor, untungnya tidak ada rumah di bawahnya melainkan tanah kosong. Itupun kabarnya longsor ini sempat menutup ruas jalan. Dan, disisi kanan jalan terdapat jurang. Dibawahnya terdapat sawah-sawah dan sungai. 

 Pringgondani. Gambar dari photobank81



Hidup di daerah perbukitan dengan kontur tanah yang tidak rata  dipenuhi tebing tinggi dan jurang disana sini memang kadang ngeri. Apalagi melihat perkampungan di lereng-lereng gunung. Tapi, bagaimanapun hidup memang harus dijalani. Berusaha bersahabat dengan alam, adalah salah satu cara untuk bisa bertahan. Kamipun tidak sekali dua kali berdebat dengan orang yang membuang sampah di sungai lebih parah lagi membuang sisa material bangunan, pecahan kaca dan barang pecah belah. Sisa material bangunan tidak bisa terurai oleh tanah, pecahan kaca, selain tidak bisa terurai juga berbahaya. Sangat berbahaya. Dipinggir kebun kami yang berbatasan dengan jurang banyak terdapat tanaman bambu pringgondani. Sejenis bambu kecil yang bisa dibuat aneka kerajinan, biasanya dipakai untuk gagang sapu ijuk. Katanya sih, bambu ini banyak tumbuh liar di sekitar dataran tinggi Dieng dan bisa dijadikan cenderamata atau oleh-oleh. Sudah banyak orang yang berniat mengambil/membeli bambu ini, baik yang ijin secara baik dan sopan maupun langsung bawa truk colt depan rumah, ambil parang, dan langsung tebas. Tapi berhubung kami kontraktor   bukan pemilik rumah dan kebun ini sekaligus larangan dari yang punya rumah, kami jadi seperti juru kunci penjaga kebun. Pringgondani tidak boleh di tebang. Bukan, bukannya mau kami jual sendiri. Tapi tanaman bambu ini bisa mencegah longsor. Menurut info dari sini, bambu mempunyai kemampuan menyerap karbon dioksida hingga 62 ton per tahun per satu hektar tanaman bambu. Selain itu tanaman bambu yang rapat dapat mengikat tanah pada daerah-daerah lereng, sehingga mampu mengurangi erosi, sedimentasi dan longsor. Mungkin inilah kenapa Allah menciptakan tanaman bambu banyak terdapat di lereng-lereng pegunungan.

Hujan turun dua hari. Menciptakan duka berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun.  Ya Allah, lindungilah kami, keluarga kami, saudara-saudara kami dengan sebaik-baik perlindungan di dunia dan akhirat. Amiin.
 Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan (QS. 1 : 5)




Komentar

  1. semoga semua bencana tsb bisa diatas dgn baik ya...

    BalasHapus
  2. amiin, iya mba, smg bs segera teratasi :)

    BalasHapus
  3. Aamiin ya Allah... Semoga semuanya cepat selesai bencananya ya mba... Berdoa saja

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer